"Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. (Mat. 5:23-24)
Bertengkar
Terkadang seorang anak bertengkar dengan adiknya. Mungkin mereka berrebut mainan. Tarik-tarikan tanpa mau mengalah. Padahal mainannya hanyalah mainan biasa, tidak ada yang istimewa. Akhirnya entah dia atau adiknya yang menangis. Atau bahkan keduanya menangis barengan. Tidak ada istilah mengalah. Pokoknya harus menang. Tapi setelah berhasil merrebut mainan itu, paling-paling dia hanya bermain sebentar. Terus melupakan mainan itu. Itulah dunia saat masih kanak-kanak.
Sebetulnya mereka saling menyayangi satu sama lain. Lihatlah ketika sedang berdamai. Mereka asyik bermain bersama-sama. Tetapi karena rasa egoislah itulah yang membuat mereka menjadi seperti itu. Kalau sudah bertengkar, siapa yang pusing? Tentu orangtuanya. Siapa yang harus dibela? Akhirnya keduanya pun dihukum. Selesailah sudah. Tinggal nanti di lain waktu diulangi lagi.
Bermusuhan dengan orang lain
Saat memasuki sekolah, dia tidak lagi bertengkar dengan adiknya. Karena dia sering diajarkan orangtuanya untuk selalu mengalah pada adiknya. Lagi pula semakin bertambah usia, dia makin sayang pada adiknya. Tetapi sering dia mencari sasaran ke orang lain untuk bertengkar. Bahkan tidak jarang akhirnya jadi bermusuhan. Minta maaf kepada musuh? Wah, nanti dulu! Terpikir saja tidak. Musuh harus dilawan dimana pun dia berada. Itulah cara berpikir seorang anak.
Tidak ada istilah minta maaf atau saling mengalah. Apa lagi harus mengasihi mereka seperti ajaran Tuhan Yesus. Oh, no. Sorry ya? Bahkan mungkin saja dia malahan mulai belajar ilmu bela diri. Untuk bertahan? Ya, kadang-kadang. Tapi sebenarnya untuk gagah-gagahan. Supaya orang menjadi takut pada dirinya.
Kok saya tahu, ya? Karena saya juga dulu suka begitu. Tapi itu dulu! Waktu belum banyak mempelajari Firman Tuhan. Sekarang? Kadang-kadang kalau lupa, saya melakukannya juga.
Yesus sudah berfirman
Tuhan Yesus menghendaki agar kita selalu hidup berdamai dengan orang lain. Bukankah Dia sudah berfirman, agar sebelum mempersembahkan korban, jika teringat ada sesuatu dalam hati saudara kita, kita harus berdamai dulu dengannya, sesudah itu barulah kita kembali untuk mempersembahkannya?
Memang benar itu. Tetapi hal itu hampir tidak kita lakukan. Karena kita tidak memperhatikannya atau sengaja melupakannya. Bukankah Tuhan Yesus berkata, jika kita teringat, sekali lagi jika kita teringat. Nah, jika kita tidak teringat alias lupa tentu hal itu tidak perlu dilakukan, bukan?
Ya benar, bila kita membaca ayat itu hanya secara hurufiah. Tapi kalau membaca ayat di Alkitab, tentu kita tidak hanya membacanya secara hurufiah, tapi kita harus juga mempelajari makna dari kalimat itu. Jadi maknanya adalah Tuhan bukan menghendaki kita melupakannya, tapi harus selalu mengingatnya. Agar kita tidak merasa ada sesuatu yang menghambat hubungan kita dengan Tuhan.
Harus berdamai
Kita harus berdamai dengan semua orang sebab seperti itulah seharusnya murid Tuhan Yesus. Jangan sampai kita memiliki musuh, bahkan walau cuma seorang saja. Jangan pula kita selalu bersikap bermusuhan dengan siapa pun. Perhatikan ayat berikut ini. “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat. 5:9) Bukankah membanggakan sekali bila kita disebut anak-anak Allah.
Tapi seandainya karena sesuatu hal kita sampai mengucapkan kalimat yang menyakitkan hati seorang teman, atau bahkan seorang musuh sekali pun, kita harus cepat-cepat minta maaf. Jangan sampai ucapan kita itu menggores hatinya. Tentu dia akan dendam kepada kita.
Apa lagi kalau sampai berkelahi dengannya. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Persis seperti ketika kita masih kanak-kanak. Kita mengingkari ayat tadi. Bukankah itu berarti kita tidak lagi dapat disebut sebagai anak-anak Allah. Tentu hal itu amat menyakitkan hati kita. Kalau kita bukan sebagai anak-anak Allah, berarti kita adalah anak kegelapan. Apakah kita mau disebut seperti itu? Tentu tidak mau, bukan?
Pernah mengalami
Saya pernah mengalami hal itu ketika seseorang berkata bahwa saya sesat. Saya amat terkejut mendengarnya. Rupanya dia belum membaca tulisan saya, cuma membaca judulnya saja, sudah segera memvonis saya. Sebab ketika dia menjelaskan mengapa saya sesat, dia lalu memberi penjelasan. Padahal isi tulisan saya itu sama dengan yang dia ceritakan.
Ketika saya menjawab, agar dia membaca tulisan saya seluruhnya, lalu dia diam. Tapi sayangnya, dia tidak minta maaf kepada saya. Mudah-mudahan saja dia minta ampun pada Tuhan. Cuma yang saya heran, kenapa dia cepat sekali berkata bahwa saya sesat. Namun, apakah saya marah? Ya, spontan saya marah. Tapi setelah itu saya memaafkan dia.
Saya teringat betapa dulu saya juga pernah seperti itu. Pada saat saya mendengar seseorang berkotbah, saya mengatakan padanya bahwa kotbahnya itu salah. Saya merasa hebat bisa menyalahkan dia. Ternyata saya sudah menghakimi dia. Persoalan dia benar atau salah, seharusnya saya tidak berusaha menghakimi dia. Tentu saja dia marah. Tetapi sekarang saya sudah berdamai lagi dengan pendeta itu. Bahkan kami sudah sering bergurau lagi.
Penutup
Memang kita ini sering juga menghakimi orang lain. Kita kadang-kadang selalu menuduh orang lain bersalah. Padahal dia belum tentu bersalah. Mungkin dia sakit hati merasakan hal itu. Dia marah pada kita, tanpa kita sadari.
Tuhan menghendaki kita agar tidak lagi sering menyakiti orang lain. Kalau dulu kita sering melakukannya, karena kita merasa bahwa diri kita lebih baik, sekarang setelah membaca renungan ini, kita tidak melakukannya lagi. Karena kita pun ternyata sering juga berbuat salah. Kiranya Tuhan mengampuni semua kesalahan kita.
Amin. Tuhan memberkati.
Yohannes Lie, Sabtu 30 Oktober 2021